Senin, 20 Juli 2009

Lamban Tangani Masalah Korupsi Kejari Kuala Simpang Diprotes

Serambi Indonesia
Rabu, 19 Juli 2006

KUALA SIMPANG- Lembaga Advokasi Hutan Lestari (Lembahtari) melakukan protes terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Kuala Simpang karena dinilai lamban menangani kasus dugaan korupsi pengadaan 50.000 bibit karet yang melibatkan oknum Kepala Kantor Perkebunan Aceh Tamiang Ir Zakirman MM dan Direktur CV Rosa Indah.

Akibat kelambanan itu, kedua oknum tersebut dikuatirkan akan menghilangkan barang bukti dan fakta di lapangan. Sementara Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kuala Simpang Sampe Tuah SH membantah tudingan itu dan menyebutkan pihaknya saat ini sedang bekerja menangani kasus tersebut sesuai aturan hukum yang ada.

Direktur Lembahtari Said Zainal M SH dalam siaran persnya yang diterima Serambi kemarin menyebutkan, protes terhadap aparat kejaksaan terpaksa dilakukan karena dinilai tidak serius dalam menangani kasus yang diadukan pihaknya, Kamis (22/6) bulan lalu. Malah dalam pengaduan tersebut, Said Zainal mengaku ikut mengajukan bukti-bukti adanya kolusi dan korupsi antara Kakan Perkebunan Aceh Tamiang dengan Direktur CV Rosa Indah.

Dikatakan Said Zainal, dugaan kejaksaan lamban memproses kasus itu terlihat dari belum adanya tanda-tanda akan adanya kelanjutan pengungkapan kasus dimaksud sehingga dikhawatirkan fakta dan bukti di lapangan dapat dikaburkan oleh kedua oknum tersebut.

Seharusnya, ujar Said lagi, pihak kejaksaan melakukan pengembangan terhadap berbagai dugaan korupsi itu. Soalnya, hingga Juni 2006, pengadaan pupuk yang ikut dianggarkan dari pos APBD Tamiang 2005 belum juga disalurkan. Padahal, anggaran 2005 sudah selesai dipertanggungjawabkan Desember 2005 lalu.

Sebelumnya, pihak Lembahtari mengadukan Kepala Kantor (Kakan) Perkebunan Aceh Tamiang Ir Zakirman MM ke Kejari Kuala Simpang atas dugaan telah melakukan korupsi pengadaan bibit karet. Dalam laporan yang disampaikan, Kamis (22/6), Zakirman melaporkan bahwa Kakan Perkebunan telah melakukan penyimpangan pengadaan dan penyaluran bibit karet sebanyak 50.000 batang melalui rekanannya CV Rosa Indah. Dari 50.000 bibit, hanya sebagian yang baru disalurkan.

Kepada Serambi kemarin, Direktur Lembahtari Said Zainal menyebutkan adanya indikasi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kakan Perkebunan. Dugaan itu atas dasar temuan pihaknya di lapangan bahwa hingga 6 Juni 2006, bibit karet sejumlah 50.000 batang baru sebagian disalurkan.

Mengingat sudah lebih setahun belum juga semuanya disalurkan, Said Zainal menyatakan pihaknya terpaksa melaporkan Kakan Perkebunan Aceh Tamiang kepada jaksa guna pengusutan lebih lanjut. Sebab, berdasarkan kontrak kerja dengan pihak CV Rosa Indah Nomor: 813/027/2005 tanggal 27 September 2005, pihak rekanan telah menyatakan sanggup melakukan pengadaan bibit karet sebanyak 50.000 batang dengan nilai Rp 245.182.500 sesudah dipotong PPh 1,5 persen. Anggaran untuk pengadaan bibit karet tersebut masuk dalam APBD Aceh Tamiang 2005. Proyek ini harus sudah tuntas disalurkan Desember 2005.

Tapi kenyataan di lapangan, hingga 6 Juni 2006 lalu, banyak bibit karet belum disalurkan kepada yang berhak. Anehnya lagi, berita acara hasil pemeriksaan barang pengadaan bibit untuk pengembangan karet dengan nomor: 148/PPBD/2005 tanggal 27 Oktober 2005 oleh panitia pemeriksaan barang daerah Kabupaten Aceh Tamiang, semua barang berjumlah 50.000 bibit karet sudah tersalurkan dengan harga satuan Rp 4.900 per bibit atau total nilai Rp 245.182.500 sesudah dipotong PPH 1,5 persen.

Menanggapi protes yang dialakukan Direktur Lembahtari, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kuala Simpang Sampe Tuah SH yang ditanyai Serambi Senin (17/7) mengatakan pihaknya tidak lamban, melainkan sedang bekerja menangani kasus tersebut. “Kami tidak lamban, melainkan sedang mengupayakan agar kasus ini terungkap kepermukaan,” ujar Sampe Tuah.

Sampe Tuah yang didampingi Kasi Karupsi Chairun Prapat SH menambahkan, untuk kelanjutan pengungkapan kasus ini, pihaknya telah mengeluarkan surat perintah kerja kepada sejumlah jaksa di lingkungannya dan mereka sedang bekerja. Karenanya Sampe Tuah mengharapakan Direktur Lembahtari Said Zainal untuk bersabar karena semua proses harus melalui aturan hukum yang berlaku.
Keperawanan Meuseugit dan Sangkapane itu Mulai ‘Terkoyak’

Meuseugit—gunung tetek—dan Sangkapane seonggok hutan perawan di belantara bukit barisan, menyimpan berjuta potensi tak terusik. Tiba-tiba dirobohkan dengan kehadiran seorang pengusaha berkebangsaan Cina, dari propinsi Zuangzoo membuka jalan sepanjang 25 kilometer di jantung hutan lindung diperuntukkan penambangan timah hitam illegal disana.

Tabir kehancuran hutan dan pemanasan global kembali menjuntai, menyergap ketakutan masyarakat akan banjir bandang jilid dua naik tayang. Sampai seberapa jauh kepedulian pemda menghadang bandit-bandit industri dan memenjarakannya ke lembah pengap sel tahanan?.



Teriknya sengatan matahari Sabtu, pekan lalu di atas langit kota Aceh Tamiang (Atam), Kualasimpang, terasa membakar 9 tubuh tim gabungan dari LembAHtari—Lembaga Advokasi Hutan Lestari, Dinas Kehutanan dan para krue wartawan media cetak dan elektronik, diatas sebuah mobil pickup tua buatan Inggris tahun 40-an, sisa perang dunia II jenis Willyz milik pak Let meluncur alon, menghantarkan para krue ke lembah perawannya gunung meuseugit kedalam belantara bukit barisan.

Empat jam, mobil pickup willyz itu menderu berjalan terseseok-seok menembus sekat-sekat lumpur menghadang, tak jarang krue menghirup kepulan debu trailler pengangkut sawit milik perusahaan perkebunan setempat.

Ada apa dibelantara bukit barisan itu?, ada seonggok kekayaan alam tersimpan, menyembul diblukar-blukar hutan perawan gunung Meuseugit, Timah hitam, Plutonium, Uranium dan jenis lainnya, mengundang lapar dan tamak penikmat tambang.

Penambang-penambang illegal mulai melirik potensi dan eksotiknya gunung meusegit, bak perawan tidur terlentang dengan dua payudaranya dan kaki membujur lurus pasrah menantang—ini bukan omong kosong—membuat decak kagum dan membangkitkan rangsangan libido orang yang memelototinya.

****

Kangkangi Rekom Dinas dan Bupati

Luas hutan Aceh Tamiang setelah berpisah dari kabupaten induknya, Aceh Timur, mencapai 125 ribu hektar, terbagi menjadi beberapa bagian. Hutan produksi......, hutan konversi dan hutan kelola....., menggiurkan. Hingga mengabaikan aspek hukum.

Tak diragukan, potensi hutan lindung di kawasan ekosistim leuser mengundang gerah para pencoleng berdasi, untuk menguasai pontensi alamnya. Tak ada keraguan dan rasa takut oleh jeratan hukum saat beroperasi.

Lalu siapa di belakang mereka?, hingga rekom untuk melakukan survey disalah gunakan. Mereka—perusahaan penambang timah hitam liar—mengangkangi rekom dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Atam nomor 522/1863 tahun 2007.

Dimana dalam surat itu disebutkan pada point dua, sesuai dengan undang-undang nomor 41 tahun 1999 pasal 50 ayat 3. Setiap orang dilarang membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lain yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang.

“Ya kalau mereka terbukti bersalah, berdasarkan bukti-bukti dan fakta di lapangan, saya perintahakan untuk di tangkap, tidak pernah saya mengeluarkan rekom pengizinan untuk pembukaan jalan dan penambangan timah hitam.” Aku Said Alwy, kepada wartawan menegaskan.

Malah dalam

****

Bupati, “Saya tidak Berikan Rekomendasi Lisan”

Indikasi keterlibatan Bupati Aceh Tamiang, Abdul Latif, dalam memberikan rekomendasi izin lisan penambangan timah hitam di kaki gunung Meuseugit kian merebak, memaksa dirinya untuk berkoar. Meski secara tertulis rekom yang dikeluarkan oleh Sekdakab, atasnama Bupati, hanya untuk meminta Dinas Pekerjaan Umum (DPU) mempelajari dan menyurvey lokasi serta pembukaan jalan baru.

Disebut-sebut Awaluddin alias Godeng, wakil direktur PT Surya Tamiang Permai, merupakan anak angkat bupati, atas kedekatan itu, Godeng memanfaatkan Abdul Latif untuk meminta Bupati memberikan izin pembukaan jalan baru dan penambangan timah hitam meski dengan lisan.

Berbekal Rekomendasi lisan itu, Godeng Cs memanfaatkannya untuk menarik dan menyeret pengusaha tambang negeri Tirai Bambu kedalam kancah penambangan timah illegal.

Godeng berhasil mengelabui legalitas hukum dinas terkait, ditambah menyebar isu, pihak mereka sudah mengantongi rekomendasi dari menteri kehutanan RI, untuk membuka tambang timah hitam di kaki gunung Meuseugit. Wah...semakin kuat kedudukan mereka kalau itu benar.

Merasa terpojok, Bupati Atam, Abdul Latif menolak kalau dirinya pernah memberikan rekomendasi untuk membuka tambang, meski secara lisan. “Saya tidak memberikan rekomendasi pembukaan tambang, meski secara lisan. Yang ada saya katakan, kalau membuka jalan koridor untuk kepentingan masyarakat banyak silahkan, selama tidak merusak dan memasuki wilayah hutan lindung.” Tegas Latif kepada Rajapost di luar ruang tunggu kamar bupati.

Aneh....ketika Gubernur Pemerintahan Aceh, Irwandi Yusuf, sibuk mengkampanyekan moratorium logging, Bupati atam malah mengenyampingkan seruan gubernur dan memberikan izin lisan dalam membuka jalan koridor untuk penambangan timah hitam.

Lalu apa tanggapan bapak mengenai kasus ini?, “bisa anda berikan foto dokumentasi lapangan anda beserta peta koordinatnya, maaf saya sibuk, saya mau ikut rapat lagi sekarang. Lain kali kita ketemu ya?.” Katanya mengakhiri percakapannya.

****

Somasi untuk sang Bupati

Perambahan hutan dan penambangan timah illegal agaknya tidak bisa di tolerir, selain merusak hutan, juga akan mendatangkan bencana yang maha dahsyat. Gunung Meuseugit dan Sangkapane merupakan tangkapan air sungai tamiang.
LembAHtari Gugat Class Action Bupati Aceh Tamiang

Saturday, 02 February 2008 03:00 WIB
Kualasimpang, WASPADA Online

Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) melayangkan gugatan Class Action terhadap Bupati Aceh Tamiang, Drs. H. Abdul Latief yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Kualasimpang, Kab. Aceh Tamiang 30 Januari 2008, dengan nomor perkara 01/PDT.G/2008/PN-KSP.

Demikian keterangan Divisi Kampanye LembAHtari, Syawaluddin kepada Waspada di Kualasimpang, Kamis (31/1).

Syawaluddin menjelaskan, dasar gugatan diatur dalam pasal 37 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan prikemanusiaan masyarakat.

Gugatan Class Action (gugatan perwakilan) tersebut atas nama masyarakat Tamiang yaitu Erwan, Teuku Hendria, Marjuki, Awaluddin Syam sekaligus sebagai anggota LSM LembAHtari yang dikuasakan kepada Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal M, SH.

Divisi Kampanye LembAHtari itu juga menegaskan, diajukannya gugatan ini karena bupati secara nyata tidak menjawab somasi LembAHtari dalam waktu 10 hari, sejak 14 Januari s/d 24 Januari 2008, untuk menghentikan dan mengambil langkah konkrit terhadap pembukaan jalan di kawasan Hutan Lindung Meusigit (Gunung Tetek) Aceh Tamiang, dalam rencana pengolahan eksploitasi pertambangan timah dan mineral lainnya oleh PT. Surya Tamiang Perkasa (STP) dengan tidak menggunakan Surat Keterangan Izin Peninjauan (SKIP) dan tanda dokumen lainnya yang sah.

Syawaluddin menilai bupati tidak komitmen dan konsisten dalam upaya penyelamatan dan perlindungan Kawasan Hutan Lindung Meusigit (Gunung Tetek) yang termasuk kawasan ekosistem Leuser. "Walau telah diingatkan termasuk pemberitaan di berbagai media massa, namun bupati tidak mau menggunakan kewenangannya," kecam Syawaluddin.

Ditegaskan, dalam fakta hukumnya dinyatakan bahwa Undang-Undang dan peraturan telah mengamanatkan bupati (sebagai pejabat pemerintah) untuk melaksanakan tugas dan dengan penuh rasa tanggung jawab, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yaitu berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 dan diatur dalam TAP MPR XI/MPR Tahun 1998.

LembAHtari mengungkapkan, terdapat fakta dan bukti sementara, Bupati Aceh Tamiang tidak serius dalam proses penyelamatan atau perlindungan kawasan hutan lindung Meusigit (Gunung Tetek), sehingga semakin berpotensi merusak kawasan tersebut. "Sudah saatnya kawasan hutan lindung di Aceh Tamiang yang merupakan daerah tangkapan air ditata ulang," tegas Syawaluddin.

Meski begitu, belum diperoleh keterangan dari Bupati Aceh Tamiang, Drs. H. Abdul Latief tentang gugatan Class Action itu. Sebab bupati ketika dikonfirmasi melalui telefon selularnya sedang tidak aktif.

Sebelumnya seperti diberitakan Waspada, PT. STP diduga membuka jalan tanpa izin di kawasan hutan lindung Gunung Meusigit menuju rencana tambang timah dan mineral lainnya, menggunakan alat berat buldozer dan lainnya. PT. STP dalam membuka jalan tersebut memiliki rekomendasi yang diterbitkan tiga kepala desa di Kec. Bandar Pusaka.

Sedangkan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Aceh Tamiang, H. Said Alwi, SE sebelumnya mengakui, pihaknya belum pernah mengeluarkan izin atau rekomendasi untuk membuka jalan di kawasan hutang lindung Gunung Meusigit. (b24)
Hentikan Pembukaan Lahan Di Hutan
Hentikan Pembukaan Lahan Di Hutan PDF Cetak E-mail
Saturday, 16 February 2008 03:00 WIB
Kualasimpang, WASPADA Online

Bupati Aceh Tamiang,Drs.H. Abdul Latief minta Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Tamiang untuk segera menghentikan kegiatan pembukaan lahan dalam kawasan hutan di Kecamatan Bandar Pusaka, Kabupaten Aceh Tamiang.

Untuk maksud itu, ungkap sumber Waspada, Jumat (15/2), Bupati Aceh Tamiang pada 13 Februari 2008 telah mengeluarkan surat Nomor: 522/269 Perihal Penghentian Pembukaan Lahan Dalam Kawasan Hutan.

Surat itu, kata sumber, diterbitkan sesuai dengan survei yang dilakukan Tim Penetapan dan Penegasan tapal batas kampung pada hari Kamis 2 Februari 2008 berlokasi di Kampung Pante Cempa, Pengidam, Bengkelang dan Kampung batu Bedulang, Kecamatan Bandar Pusaka dalam rangka penetapan dan penegasan tapal batas kampong.

Menurut sumber, tim telah mengidentifikasi titik batas kawasan hutan yang termasuk dalam areal wilayah masing-masing kampong. Dari hasil survei itu, katanya, tim menemukan pembukaan lahan secara liar atau ilegal dalam areal kawasan hutan yang dilakukan pihak tertentu dan telah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat setempat.

Dalam suratnya yang tembusannya disampaikan kepada Camat Bandar Pusaka, Kepala Mukim Alur Jambu di Bandar Pusaka, datok Penghulu Pante Cempa, Pengidam, Bengkelang dan batu Bedulang serta Ketua Lembahtari itu , Bupati Aceh Tamiang minta kepada Kadis Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Tamiang untuk segera menghentikan kegiatan pembukaan lahan dalam kawasan hutan serta melakukan pengawasan secara intensif dan memberikan laporan kepada Bupati Aceh Tamiang terhadap perkembangan lebih lanjut di lapangan.

Sebelumnya, Pada tanggal 17 januari 2008 , Bupati Aceh Tamiang juga sudah pernah menerbitkan surat Nomor: 500/ 101/2008 Perihal Permohonan Izin Pembuatan Jalan. Surat ditujukan kepada Pimpinan PT. Surya Tamiang Perkasa dan balasan dari surat permohonan dari PT. Surya Tamiang Perkasa, Nomor: 005/STP-BP/XI-07 tanggal 26 November 2007.

Menurut Abdul Latief, pembukaan jalan yang dimohon oleh perusahaan tersebut masuk kawasan hutan lindung sesuai dengan laporan kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan. "Maka kami tidak dapat memenuhi permohonan dari PT. Surya Tamiang Perkasa," begitu bunyi surat bupati tersebut.

Bupati mengatakan, kegiatan pembukaan jalan yang telah PT. STP dilakukan sesuai dengan laporan yang telah diterima dari Kadis Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh Tamiang adalah tanpa izin dan menjadi tanggung jawab PT. STP.

Bupati Aceh Tamiang juga pada 12 Februari 2008 telah menerbitkan surat Nomor: 500/260/2008 perihal somatie (peringatan). Surat ditujukan kepada LembAHtari sehubungan adanya surat dari LembAHtari, Nomor 42/LT.S/1/08 tanggal 14 Januari 2008 perihal somatie. Isinya, bupati telah menanggapi permohonan pimpinan PT.STP dengan Surat Nomor 500/101/2008 tanggal 17 Januari 2008. "Pihak kami tidak dapat memenuhi permohonan itu karena dari hasil laporan Kadis Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang lokasi yang dimohon termasuk dalam kawasan hutan lindung," begitu bunyi surat bupati pada LembAHtari itu.

Bupati Aceh Tamiang menegaskan, pembukaan jalan yang dilakukan PT. STP tanpa seizin Pemkab Aceh Tamiang.

Divisi Kampanye LembAH tari, Syawaluddin ketika ditanya soal sudah ada jawaban tentang somatie yang mereka layangkan itu menyatakan surat jawaban dari Bupati Aceh Tamiang itu baru dijawab setelah hari ke-25, sedangkan surat gugatan class action telah didaftarkan LEmbAHtari pada hari ke-15.

"Berarti jawaban yang diberikan Bupati Aceh Tamiang sudah terlambat, namun nanti kita lihat saja ketika sidang gugatan class action terhadap Bupati Aceh Tamiang itu digelar di PN Kualasimpang," kata Syawaluddin.

Belum terima
Ka. Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Kabupaten Aceh Tamiang, H. Said Alwi,SE ketika dikonfirmasi Waspada kemarin mengaku belum menerima surat itu. "Kalau surat seperti ini memang belum saya terima, " ungkapnya sambil melihat dan membaca foto copi surat Bupati Aceh Tamiang, Nomor 522/269 itu ketika diperlihatkan Waspada kemarin. (b24)
Perambah Hutan Belum Ditemukan
Rabu, 30 Juli 2008 | 13:55
Perambah Hutan Belum Ditemukan
ACEH TAMIANG-Kasatreskrim Polres Aceh Tamiang, AKP Irwan MY mengatakan, pihaknya terus melakukan pemantauan terhadap pelaku perambahan hutan di wilayah Aceh Tamiang. "Kita belum berhasil menemukan oknum–oknum yang melakukan perambahan hutan di Aceh Tamiang. Namun untuk mengamankan hutan Aceh Tamiang tersebut, kita terus mengadakan pemantauan terhadap aksi tangan-tangan jahil yang merusak ekosistem kawasan hutan tersebut," ujar AKP Irwan MY.

Masih dikatakannya, Tim Polda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) hingga saat ini belum turun ke Aceh Tamiang untuk mengecek keberadaan aksi perambahan hutan di Aceh Tamiang.

Kendati Tim Polda NAD hingga saat ini belum turun ke Kabupaten Aceh Tamiang untuk mengecek keberadaan perambahan hutan dikawasan hutan Aceh Tamiang, namun kata Irwan, personil Polres Aceh Tamiang selama ini terus melakukan pemantauan dikawasan hutan khusus di hulu Sungai Tamiang.

“Kita tetap stand by menunggu Tim dari Polda NAD yang berencana akan turun kelapangan untuk melihat langsung aksi perambahan hutan yang selama ini dilaporkan marak baik dkawasan hutan Aceh Tamiang maupun di kawasan hutan Aceh Timur," ujarnya meyakinkan.

Sementara itu, untuk menanggapi tentang rencana Tim Polda NAD yang akan turun kelapangan, LSM Lembah Tari akan mendukung sepenuhnya rencana tersebut. Manager Kampanye Lembah Tari, Syawaluddin mengatakan bahwa pihaknya siap dua kali 24 jam untuk membantu Tim Polda dan Polres Aceh Tamiang tersebut.

Dikatakannya, Lambah Tari paling mengetahui daerah atau kawasan hutan yang dirambah selama ini. Oleh sebab itu, diharapkan mereka diikut sertakan dalam Tim.” Kami akan memberi petunjuk kepada Tim dimana titik koordinat kawasan hutan yang rentan dirambah oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut," ujarnya optimis.

Menurut Syawaluddin, pihaknya sangat perihatin terhadap rusaknya hutan tersebut. Oleh sebab itu pihaknya telah beberapa kali melakukan investigasi ke lapangan.

”Semua data dan bukti terhadap aksi permbahan hutan tersebut ada pada kami. Jadi bila Tim dari Polda dan Polres Atam dan instansi terkait lainnya akan turun kami dengan snang hati akan memberikan masukan agar sasaran yang dimaksud berhasil ditemukan," ujarnya.

Dengan turunnya Tim dari Polda NAD dan Polres Aceh Tamiang tersebut diharapkan aksi ilegal logging di kawasan hutan Tamiang dan Aceh Timur, setidaknya dapat ditekan karena dampak dari ilegal logging ini sangat merugikan masyarakat banyak yang tidak berdosa bila banjir bandang dan tanh longsor dihulu sungai terjadi lagi dimasa yang akan datang.

Akibat gundulnya hutan tersebut kata Syawaluddin hingga saat ini air sungai Tamiang tidak pernah jernih. Padahal air sungai Tamiang tersebut dikonsumsi oleh sebahagian besar warga Tamiang baik yang berdomisili di Kta Kuala Simpang maupun masyarakat yang berada disepanjang sungai Tamiang dari hulu hingga ke hilir sampai ke muara sungai Tamiang. Mereka selama ini sangat mengeluh dan mendambakan air sungai yang jernih seperti dulu. (urd)
Moratorium Gubernur Isapan Jempol, Penebangan Hutan Merajalela

Senin, 14 Juli 2008 | 14:14

Didanai Cukung Rp 500 Ribu/Ton dan Satu Rakit Rp 300 Ribu

KUALA SIMPANG–Eskalasi pembalakan kawasan hutan Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur hingga saat ini masih Tinggi. Pembalakan liar tersebut terjadi hampir di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang Hulu hingga ke kawasan hutan Tampur Bor, Simpang Jernih kabupaten Aceh Timur.

Menurut pantauan dan informasi yang diperoleh koran ini, pembalakan hutan yang terparah terjadi di ujung desa Serkil, Bengkelang dan Melidi. Pelakunya adalah warga setempat yang dibeking oleh oknum dari instansi tertentu. Kayu tersebut ditebang dan dibelah dengan menggunakan chain saw.

Kayu hasil penebangan liar tersebut selanjutnya ditarik dari pedalaman hutan dengan kerbau ke pinggir sungai untuk dijadikan rakit.

Is (43) seorang warga desa Tamiang Hulu kepada koran ini mengungkapkan, dia melakukan penebangan liar tersebut dibiayai oleh cukong tertentu dengan imbalan Rp 500 ribu/ton. Sedangkan kerbau untuk menarik kayu tersebut disewa dari masyarakat.
Setelah kayu dirakit, ada pihak lain yang menurunkan kayu tersebut ke hilir sungai Tamiang dengan imbalan per rakit Rp 300 ribu.

Dorahim mengakui kayu tersebut dengan menggunakan boat atau dihanyutkan dan dibawa ke kilang kayu di desa Kota Lintang Bawah, Kecamatan Kota Kuala Simpang yang mempunyai izin produksi pembelahan kayu dari Dinas Kehutanan setempat.

Setelah kayu hasil illegal Logging tersebut diolah di Kilang Kayu yang berada di desa Kota Lintang Bawah itu menjadi papan, broti dan lat berbagai ukuran. Selanjutnya kayu illegal tersebut ditampung dan dijual oleh pihak ketiga di kota Medan setelah disahkan melalui Surat dari Dinas Kehutanan setempat dengan kedok kayu itu kayu sembarang milik kampong yang dikuatkan dengan dokumen yang sah.

Padahal kayu tersebut merupakan hasil balakan liar yang terjadi dikawasan hutan dibagian hulu sungai kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur. Sejauh ini nampaknya belum ada ketegasan dari Pemkab dan institusi tertentu baik di Aceh Tamiang maupun Aceh Timur untuk menghentikan penebangan liar tersebut.

Moratorium yang dilakukan oleh Kepala Pemerintahan Aceh, Irwandi Yusuf kelihatannya hanya isapan jempol belaka. Tidak ada implementasinya dilapangan. Semua itu hanya omong kosong.
Manager Kampanye LSM Lembah Tari, Syawaluddin mengakui bahwa dari hasil investigasinya yang dilakukannya bersama Walhi selama ini eskalasi pembalakan liar di kedua kabupaten ini cukup tinggi.

Untuk menyelamatkan hutan demi masa depan anak cucu dari bencana alam banjir dan tanah longsor yang lebih dahsyat seperti yang terjadi pada dua tahun silam, maka pihaknya meminta kepada Pemkab Aceh Tamiang dan Aceh Timur untuk memberantas praktik illegal logging tersebut. Coba lihat saja air sungai Tamiang saat ini selalu keruh dan tidak pernah jernih, ini tidak lain akibat gundulnya hutan di kawasan hulu sungai tersebut. (urd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar